Cikal bakal pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial muncul sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Hal tersebut terlihat dari ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) menyebutkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial harus dibentuk dengan Undang-Undang dan sejak berlakunya Undang-Undang ini, badan penyelenggara jaminan sosial yang ada dinyatakan sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menurut Undang-Undang ini.
Sejatinya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dibentuk untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap Peserta dan/atau anggota keluarganya. Selanjutnya Konstitusi Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga menjamin dan menghormati hak asasi manusia. Hal itu tercermin dari Ketentuan Pasal 28H ayat (1) menegaskan bahwa Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Berdasarkan rumusan Pasal 28H ayat (1) tersebut Negara dengan penuh kesadaran mengambil peran dan tanggung-jawab untuk memberikan rasa aman, nyaman dan tenteram seluruh warganegara serta menyediakan tempat tinggal dan lingkungan hidup yang baik dan sehat sekaligus memberikan pelayanan kesehatan.
Keseriusan negara soal kesehatan warganya memang tidak dapat dipandang sebelah mata. Menilik ketentuan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Negara memilih aktif dalam rangka penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan yang baik dan mumpuni. Lantas hal ini membuat kita berharap banyak pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial karena Negara Indonesia begitu concern dan peduli terkait dengan kesehatan warga negaranya.
Adapun jenis program jaminan sosial yang dimiliki oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial meliputi jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian. Akan tetapi sebelum warga negara mendapatkan program jaminan sosial harus terlebih dahulu terdaftar sebagai Peserta dan membayar Iuran Peserta setiap bulan. Selain itu di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 terdapat pasal yang berpotensi menimbulkan diskriminasi yakni ketentuan Pasal 26 yang berbunyi Jenis-jenis pelayanan yang tidak dijamin Badan Penyelenggara Jaminan Sosial akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden. Pasal 26 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 secara implisit memberikan delegasi kewenangan untuk memilah jenis-jenis pelayanan apa saja yang tidak dijamin oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Ketika berbicara mengenai kesehatan maka tidak ada tawar menawar apabilah muncul keluhan atau penyakit yang diderita oleh masyarakat harus segera ditangani dan djamin oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. Apalagi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan memiliki dana jaminan sosial yang berasal dari Iuran Peserta dan Modal Dasar yang diberikan oleh pemerintah. Dana Jaminan Sosial juga dikelola dan dikembangkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara optimal dengan prinsip likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai.
Di dalam ketentuan Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengamanatkan penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara bertanggungjawab, aman, bermutu, serta merata dan nondiskriminatif. Apabila kita kaitkan dengan ketentuan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentu saling bertolak belakang. Seharusnya pelaksanaan pelayanan kesehatan diberikan dengan tidak diskriminatif apalagi diskriminasi tersebut dilakukan terhadap jenis penyakit pasien yang menjadi peserta resmi/legal dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan dalam menjalankan sistem jaminan sosial nasional jangan sampai melupakan asas kemanusiaan, asas manfaat, asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 huruf I Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 mengatur mengenai hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan Peserta.
Penurunan kualitas pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan menjadi semakin nyata sejak diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Peraturan Presiden ini merupakan jawaban atas delegasi kewenangan yang diberikan oleh Pasal 26 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004. Pengaturan mengenai pemilahan jenis-jenis penyakit yang tidak dijamin oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan merupakan bentuk penurunan pelayanan kesehatan. Mengapa demikian? Ketentuan Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia mengatur bahwa Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. serta Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Bagaimana bisa kita mengharapkan seluruh warga negara Indonesia dapat hidup sehat dan sejahtera apabila negara saja pilih-pilih dalam menjamin jenis penyakit yang diidap oleh rakyatnya. Permasalahan muncul ketika ketentuan Pasal 52 ayat (1) huruf f, huruf g, huruf h, huruf I, huruf j, huruf m, huruf n dan huruf r Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Rumusan materi muatan tersebut sangat tidak relevan dikarenakan fungsi utama dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan untuk menjadikan seluruh rakyat Indonesia menjadi sehat dan produktif. Apalagi narasi yang sering digunakan oleh pihak Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan adalah ketersediaan dana kelolaan yang terbatas atau arus kas keuangan yang minus. Sementara solusi jangka pendek yang seringkali digunakan oleh Pemerintah maupun Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial Kesehatan adalah dengan menaikan besaran jumlah iuran peserta. Tentu saja itu bukan sebuah solusi yang bijaksana.
Mengutip dari Rencana Kerja Anggaran Tahun (RKAT) Tahun 2019 Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan menganggarkan beban insentif kepada direksi sebesar Rp32,88 miliar. Jika dibagi ke delapan anggota direksi, maka setiap anggota direksi mendapatkan insentif Rp4,11 miliar per orang. Dengan kata lain seluruh direksi menikmati insentif Rp342,56 juta per bulan. Sementara itu, beban insentif dewan pengawas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan dianggarkan Rp17,73 miliar per tahun. Jika dibagi kepada tujuh dewan pengawas, maka tiap kepala mendapat insentif Rp2,55 miliar. Jika dibagi ke dalam 12 bulan, maka insentif yang diterima dewan pengawas adalah Rp211,14 juta per bulan. Ini merupakan sebuah ironi keadaan bangsa Indonesia yang sedang kehilangan akal sehat. Disatu sisi Pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 dengan “mengamputasi” jenis-jenis penyakit tertentu yang tidak dijamin oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. Namun disisi yang lain Direksi dan Dewan Pengawas menikmati gaji, manfaat tambahan lainnya, dan insentif dalam jumlah yang fantastis. Ini sama sekali tidak mencerminkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Melihat data yang mencengangkan maka Penulis menyarankan kepada pemerintah agar ketentuan Pasal 52 ayat (1) huruf f, huruf g, huruf h, huruf I, huruf j, huruf m, huruf n dan huruf r Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan untuk dicabut. Pasal tersebut hanya akan menyakiti hati nurani rakyat Indonesia karena diperlakukan secara diskriminatif. Selain itu, sebagai perpanjangan tangan Negara dibidang kesehatan sudah seharusnya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan memberikan pelayanan terbaik serta senantiasa meningkatkan mutu dan jumlah program layanan kesehatan bagi Peserta.